I La Galigo: Menurut naskah NBG 188, Jilid 1 [8]

1 yang memerintah di Toddang Toja.”
Tatkala tiba hari yang ditetapkan oleh Patotoqé
maka datang pulalah berhimpun
penduduk Boting Langiq.
5 Demikian pula di sebelah timur
usungan guruh kendaraan
Sangka Maléwa suami-istri.
Bagaikan bara api yang diaduk
payung bintang yang menaunginya.
10 Lebih tujuh ribu orang serombongan.
Telah muncul pula di sebelah selatan
usungan cahaya yang dikendarai
Sinrang Mpatara suami-istri.
Bagaikan bara api yang diaduk
15 payung bintang yang menaunginya.
Lebih tiga juta orang serombongan
memekakkan suara teriakan pengikutnya.
Telah muncul pula usungan guruh di sebelah barat
kendaraan Sennéq Batara, datang berpesta.
20 Bagaikan bara api yang berhamburan
payung bintang yang menaunginya.
Lebih tujuh ribu orang serombongan.
Memekakkan gelak tawanya membatu roboh.
Bersamaan semua berjumpa di bawah pohon asam,
25 di gelanggang bintang belantik,
menghambur duduk berkumpul di dalam pagar
pengikut, yang beribu jumlah pengiringnya.
Bagaikan petir halilintar
suara teriakannya serombongan.
30 Tak disebutkan lagi gelak tawanya yang membatu roboh
datang berpesta Sennéq Batara berteman.
Saat itu berpaling Datu Palingéq
membuka jendela lalu menjenguk
memandang ke arah pohon asam bintang belantik.
35 Demikian kata Mutia Unruq,
“Agaknya telah datang semuanya di bawah
pada gelanggang halilintar, saudara kita,
sepupu sekali kita, kemanakan kita.
Tetapi belum datang juga sepupu sekali kita dari Pérétiwi,
40 saudara kita dari Toddang Toja.”
Sudah sampai pada hari yang ditetapkan oleh penguasa telaga.
Bersamaan semua datang berkumpul
daerah takluk andalan Guru ri Selleng.
Telah tiba pula La Bala Unynyiq serombongan

I La Galigo: Menurut naskah NBG 188, Jilid 1 [7]

1 terus naik di istana sao kuta pareppaqé.
Sujud menyembah lalu duduk di hadapan Patotoqé.
Serentak keduanya berkata
To Palanroé suami-istri,
5 “Kemana gerangan saudaraku,
Ruma Makompong, Rukkelleng Mpoba, raja Toddang Toja
tiada seiring bersama engkau?”
Menyembah Rukkelleng Mpoba sembari berkata,
“Kutadahkan kedua telapak tanganku,
10 bak kulit bawang tenggorokanku,
semoga hamba tak terkutuk menjawab perkataan Tuanku.
Paduka Adinda, Tuanku berkata
berangkatlah engkau lebih dahulu.
Aku akan berangkat nanti
15 pada saat bulan purnama raya.
Akan kudatangkan pula semua
daerah takluk andalanku di Uriq Liu,
raja taklukanku di Toddang Toja,
raja yang memerintah di Pérétiwi
20 aku akan beriringan semuanya nanti
datang ke Boting Langiq.”
Bagaikan orang yang sedang meneguk madu
rasa hatinya di dalam, Patotoqé suami-istri
mendengar ucapan
25 Rukkelleng Mpoba, Ruma Makompong.
Tiba pulalah semuanya
mereka yang disuruh pergi mengantar undangan.
Tiada henti-hentinya sang petugas berseru, katanya,
“Dengarkan hai sekalian
30 penduduk di Rualletté, di Wawo Langiq,
masyarakat di Boting Langiq, di Senrijawa.
Tak sepotong pun barang yang lewat di tenggorokannya
yang tidak mau datang ke Rualletté
di istana sao kuta pareppaqé.”
35 Serentak berkata penduduk negeri
di Boting Langiq dan di Abang Letté,
“Pekerjaan besar apa lagi gerangan
yang akan dilakukan To Palanroé
hingga kita diperintahkan berkumpul di Rualletté?”
40 Serentak sang petugas saat itu berseru, katanya,
“Tujuh malam lagi, wahai orang banyak,
kalian harus datang ke istana di Rualletté.
Jangan hendaknya kalian didahului oleh saudara Patotoqé

I La Galigo: Menurut naskah NBG 188, Jilid 1 [6]

1 bangsawan mulia para pengapit di Uriq Liu.
Ingin rupanya kakanda Tuanku
menempatkan tunas di Alé Lino
memantangkan kayu sengkona atas nama kita.
5 Katanya, Tuanku, bukanlah dewata
apabila tak seorang pun
menyeru tuan kepada Batara,
menadahkan tangan ke Pérétiwi.”
Serentak kedua suami-istri berkata
10 sang penguasa di Pérétiwi,
pemilik istana sao Selliq yang keemasan di Uriq Liu,
“Siapakah gerangan, Rukkelleng Mpoba, Ruma Makompong,
menurut perkiraanmu berani membantah
sekiranya Patotoqé menganggap baik untuk
15 menempatkan keturunan di Alé Lino?”
Menyembah sambil berkata Ruma Makompong,
“Bersabda pula kakanda Tuanku
beriringlah engkau kemari dengan adikku
naik ke Boting Langiq.
20 Hendaknya keberangkatannya kemari ke Boting Langiq
pada hari pasarnya Rualletté,
saat surya terang tiada padam di Senrijawa,
musim kemarau di Toddang Toja,
waktu tenteram di Léténg Riuq,
25 hari keberuntungannya di Pérétiwi.”
Serentak keduanya berkata
Guru ri Selleng suami-istri,
“Berangkatlah engkau lebih dahulu
Rukkelleng Mpoba dan Ruma Makompong.
30 Kemudian sajalah daku berangkat
pergi ke Boting Langiq.”
Memohon pamitlah Ruma Makompong,
mempersilakan pulalah Opu Samudda.
Maka berangkatlah utusan raja orang Abang itu
35 diantarkan guntur, diiringi kilat dan petir.
Matahari saat itu masih pada tempatnya
maka tibalah ia di Boting Langiq

I La Galigo: Menurut naskah NBG 188, Jilid 1 [5]

1 lalu diturunkanlah pelangi tujuh warna.
Guntur pun sahut-menyahut,
sahut-menyahut guntur dan kilat.
Turun pulalah Ruma Makompong, Rukkelleng Mpoba,
5 didahului Balassa Riuq,
dielu-elukan nian Rukkelleng Mpoba oleh guntur bersahutan.
Sekejap mata tibalah ia di Toddang Toja.
Tampaklah oleh mereka di istana sao Selliq yang gemerlap.
Dengan segera Rukkelleng Mpoba, Ruma Makompong,
10 Sangiang Pajung, Balassa Riuq
menginjakkan kaki pada tangga guntur keemasan
menyampaikan kedua belah tangan pada susuran kilat,
lalu melangkahi ambang dari petir,
menginjak lantai, terus ke dalam.
15 Kebetulan sekali
duduk berdampingan Sinaung Toja suami-istri
di atas pelaminan istananya.
Maka sujudlah menyembah lalu duduk
Ruma Makompong dan Sangiang Pajung
20 di depan pelaminan istana
tempat duduk Sinaung Toja.
Bersamaan dua berkata
pemilik istana sao Selliq yang gemerlap, suami-istri,
“Aku menyambutmu, Rukkelleng Mpoba,
25 aku menyapamu pula dengan pertanyaan Ruma Makompong.
Apa gerangan yang disuruhkan saudaraku kepadamu?
Sudah inginkah ia mencarikan jodoh Batara Guru
di luar langit?”
Sujud menyembah sambil berkata
30 Rukkelleng Mpoba dan Ruma Makompong,
“Kutadahkan kedua telapak tanganku,
bak kulit bawang tenggorokanku,
semoga tak kualat hamba menjawab perkataan Tuanku.
Kakanda Tuanku menghendaki
35 kiranya Tuanku suami-istri naik ke Boting Langiq
bersama dengan Tuanku
yang berkuasa di Pérétiwi.
Kumpulkan juga seluruh
daerah takluk Tuanku di setara bumi,
40 penguasa taklukan Tuanku di Pérétiwi
berdarah emas murni di Toddang Toja,

I La Galigo: Menurut naskah NBG 188, Jilid 1 [4]

1 Kita bukanlah dewata, Adinda, apabila tak satu pun orang
di kolong langit menyeru tuan kepada batara.”
Menjawab Datu Palingéq,
“Mengapa gerangan, Aji Patotoq,
5 jika engkau bermaksud
menurunkan tunas ke dunia,
siapa gerangan yang berani membantahmu?”
Alangkah gembira Patotoqé karena menurunkan tunas ke bumi
diiakan oleh wanita belaiannya.
10 Berkata Palingéqé,
“Alangkah baiknya, Aji Patotoq,
jika engkau mengutus orang ke Toddang Toja
mengundang saudara kita
mengajak semua kemari
15 sepupu sekali dan kemanakan kita,
datang ke sini berkumpul
dari Toddang Toja dan dari Boting Langiq
pada istana sao kuta pareppaqé
agar kita duduk berhimpun.
20 Apabila mereka setuju kita tempatkan keturunan di bumi.”
Belum selesai ucapan Datu Palingéq
berpaling sambil berkata Patotoqé,
“Turun ke bumilah engkau, Rukkelleng Mpoba,
beserta Ruma Makompong
25 mengundang kemari adikku Sinaung Toja suami-istri.
Panggil pula sepupu sekaliku To Bala Unynyiq.
Hendaknya ia menyesuaikan
dengan delapan malam terbitnya bulan,
kedatangannya pada hari pasar di Boting Langiq.
30 Berangkat juga engkau ke barat ke Senrijawa
mengundang kemanakanku Sennéq Batara
agar suami-istri menghadiri pesta.
Tiada dilalui makanan tenggorokannya
yang tak mau datang ke istana sao kuta pareppaqé.”
35 Belum selesai ucapan Patotoqé,
berangkatlah semua para utusan
pergi membawa undangan ke negeri asing.
Terpancarlah pergi para utusan.
Rukkelleng Mpoba pun memerintahkan
40 agar dicabut palang
penutup pintu batara guntur,

I La Galigo: Menurut naskah NBG 188, Jilid 1 [3]

1 di kolong langit, di permukaan Pérétiwi
menyeru Sri Paduka kepada batara.”
Diam sejenak Patotoqé, tak menjawab sepatah pun.
Maka tiga kali Ruma Makompong mengulang sembah,
5 barulah berpaling La Patigana sembari berkata,
“Biarlah aku naik ke istana sao kuta pareppaqé
menyampaikan kepada bunda La Rumpang Mégga.
Atas izin Datu Palingéqlah
baru boleh ditempatkan keturunan di kolong langit.”
10 Maka berangkatlah Patotoqé
berselimutkan sarung kemilau bak bulan di langit,
dipapahkan cerana guruh tempat sirihnya,
diiringi oleh raja dari Wawo Langiq,
diramaikan oleh bangsawan tinggi dari Coppoq Méru,
15 mendaki tangga guruh halilintar
seraya disiahkan susuran kemilau,
melangkahi ambang pintu dari petir,
menyusuri lantai batang pinang bak petir,
masuk melalui sekat tengah dari guruh nan kilat.
20 Dua ratus lima puluh petak istana sao kuta itu
maka sampailah melangkahi sekat tengah dari guruh nan kilat
menyiakkan pintu dari guntur
kemudian duduk di atas pelaminan kemilau.
I Da Sarellung yang membuka
25 keris guruh sejiwanya.
Wé Ati Langiq yang menanggalkan
ikat kepala cahaya petir
hiasan To Palanroé.
Talaga Unruq yang menayangkan
30 sirih keemasan orang Senrijawa
di talang keemasan dari petir.
Berkata Patotoqé kepada wanita belaiannya,
“Tak mengapalah wahai adik Datu Palingéq
kita turunkan anak kita, kita jadikan tunas di bumi,
35 memantangkan kayu sengkona atas nama kita,
jangan tetap kosong dunia,
terang benderang di kolong langit.

I La Galigo: Menurut naskah NBG 188, Jilid 1 [2]

1 Rukkelleng Mpoba bersaudara.”
Belum selesai ucapan anak-anak
penjaga ayam nan beratus,
maka muncullah dari arah selatan
5 Rukkelleng Mpoba, Sangiang Pajung,
Ruma Makompong, Balassa Riuq.
Tiada senang lagi hati Patotoqé
memandang Rukkelleng Mpoba bersaudara.
Dengan marah To Palanroé berkata,
10 “Dari manakah gerangan engkau Ruma Makompong bersaudara?
Sudah tiga malam lamanya
dan tiga hari pula, tak satu pun nampak di Boting Langiq.
Hanya anak-anak inilah engkau tinggalkan
menjaga ayam kesayanganku.
15 Padahal sudah saya katakan Ruma Makompong,
tiada sesuatu yang perlu kaucari
di Boting Langiq, bersama saudaramu.
Kain dan baju kuberikan padamu,
namun engkau lalaikan jua
20 ayam nan anggun andalanku.”
Sujud menyembah sambil berkata
Ruma Makompong, Sangiang Pajung,
“Kutadahkan kedua tapak tanganku,
bak kulit bawang tenggorokanku,
25 semoga tak terkutuk hamba menjawab ucapan Tuanku.
Patik datang dari kolong langit
dari permukaan Pérétiwi
menurunkan topan, mengadu petir,
memperlagakan guntur, menyabung kilat,
30 menyalakan api dewata,
menyorong bara, menurunkan badai,
menyandingkan destar, menyungsang penyadap,
menyesatkan orang di hutan.”
Menyembah Rukkelleng Mpoba,
35 “Tidaklah ada nian
menyeru tuan kepada Batara,
menadah tangan di Pérétiwi.
Tak apalah gerangan Tuanku menurunkan seorang keturunan
untuk menjelma di muka bumi
40 supaya dunia jangan kosong,
terang benderang permukaan bumi.
Engkau bukanlah dewata selama tak satu pun orang

I La Galigo: Menurut naskah NBG 188, Jilid 1 [1]

1 Baru saja matahari terbit di Boting Langiq,
keesokan paginya di Senrijawa,
jelas bersinar Sang Surya di Rualletté,
saat itu bangunlah To Palanroé,
5 dikuakkan kelambu keemasan
sinar petir yang meliputinya,
dibukakan kunci bilik guntur maka ia lewat,
terus ke depan berselimutkan sarung
yang tepinya bersujikan benang cahaya petir
10 melangkahi sekat guruh,
menyeruakkan pintu halilintar
tiba berjongkok di bangku kilat.
Duduk bersimpuh pada bantal seroja bintang belantik
membasuh muka pada mangkuk kilat berkuping
15 berkaca pada cermin kemilau,
ditayangkan sirih keemasan orang Senrijawa.
Seusai Patotoqé makan sirih,
saat itu berpalinglah La Patigana
membuka jendela keemasan lalu menjenguk
20 mengamati latihan perang-perangan antara La Tau Pancéq
dan La Tau Buleng di bawah pohon asam bintang belantik.
Tak satu pun tampak olehnya
penjaga ayam andalannya.
Saat itu bangkitlah Patotoqé
25 berselimutkan kain dari benang kilau kemilau,
dipapahkan cerana guruh tempat sirihnya.
Diusungkan ketur peludahan petirnya
tempat membuang sepah sirihnya
dijinjingkan cerek halilintar tempat air minumnya
30 langsung menuju pohon asam bintang belantik
lalu berdiri di gelanggang halilintar.
Dengan lemah lembut ia membuka mulutnya,
berkata To Palanroé,
“Mengapa, anak-anak, maka sunyi di bawah pohon asam,
35 Rukkelleng Mpoba, Ruma Makompong,
Sangiang Pajung, Balassa Riuq?”
Sujud menyembah sambil menjawab
para penjaga ayam nan beratus di Rualletté.
“Kutadahkan kedua tapak tanganku,
40 bak kulit bawang tenggorokanku,
semoga tak terkutuk hamba menjawab ucapan Tuanku.
Sudah tiga hari tiga malam, Tuanku,
tak satu pun nampak di Boting Langiq

The Birth of I La Galigo [2]

バタラグル、天上より降臨す

天上の王国、ボティランギ(Botillangi)より日は昇った。

創造主トパランロエ(To Palanroé)が目覚めた。

波型のたらいの水で彼は顔を清め、きらめく鏡の前で装束を身にまとう。

金色の布にくるまれ、宿命の王がここに生まれた。

彼はビンロウの実(噛みたばこの一種)を味わい、自らの容器に捨てた。

彼は衛兵に優しく尋ねる。

「ルケレンムポバ(Rulelleng Mpoba)とルママコンポン(Ruma Makompong)はどこだ? なぜ彼らはいないのだ?」

闘鶏を注視していた何百もの衛兵たちはひざまずき、手のひらを地につけて言う。

「王よ、ルケレンムポバの一家は、この丸三日間、誰一人としてこのボティランギに姿を現していません」

しかし兵が言い終わりもしないうちに、ルケレンムポバとルママコンポンが南より現れた。

怒る王を見て、ルケレンムポバとルママコンポンは言う。

「下僕たちよ、手を上げよ。そして、我々の答えが王の怒りに触れないよう祈ろうではないか。

The Birth of I La Galigo [1]

プロローグ:ビッスの祈り

天上に住まいし全知全能の神を賛美せよ。
天と地への私の祈りと贈与がその意図の通りに、誤ることなく、十全に受け容れられることを私は願う。

あなたが我らの世界に降りし煌々たる日、天の下、地の上に知を変えた。

地の上、天を越え、あらゆる場所で雷鳴はとどろく。

雷鳴と稲妻のなか、ターバンを巻いたおまえは、この世界に祝福され、大海を震わせ、豊かな森を育んだ。

そしてあなたも、死や老いへの恐怖のない、称えられるべき勇者として地に降り立ち、この世界の住人となった。

あなたは比類なき者と呼ばれ、そして最初の人間、すなわち男を創造した。

昼夜の別なく聞こえるのは、シャーマンの歌声たるパペン(papeng)の打ち音、プンゴプンゴ(pungo-pungo)のハーモニー、黄金のボリラ(bolira)。
花に満ちたビッスの儀礼、父よ、母よ。